Cerpen Kacamata

Sabtu, 27 Oktober 2012


Ketika Aku Harus Memakai Kacamata


Ketika pelajaran bahasa Inggris, aku diminta membaca bacaan yang berada di layar LCD. Ketika aku kesulitan membaca bacaan tersebut, saya diminta memakai kacamata karena aku sulit melihat tulisan dengan jarak yang cukup jauh.
Hari Ini, aku akan mengambil kacamata di toko optik. Aku tak tahu apakah aku akan menyukai kacamata ini. Aku pun tak tahu apakah tampangku akan bego bila memakainya. Bersama Ayah, aku pergi ke toko kacamata. Aha, kacamata untukku sudah jadi. Beberapa hari yang lalu, aku bersama Ibu telah memilih dan memesan kacamata itu. Bingkainya silver, seperti warna kesenanganku. Ahli kacamata di took itu memasang kaca yang cocok untuk mataku di bingkai itu. Setelah memakai kacamata, aku bisa melihat segala sesuatu dengan jelas tetapi saat pertama kali aku melihat lantai, kepalaku langsung terasa pusing.
 
Ayah memandangku, “Wah, kau jelihatan gagah! Seperti professor!” Aku diam saja. Rasanya aneh. Seperti ada burung bertengger di hidungku dan setiapkali aku memakainya terasa risih dan tak enak. “Boleh kulepas?” tanyanya pada Ayah. “Tidak! Tidak boleh!” sahut Ayah. “Mulai sekarang kau harus terus memakai kacamata ini!” “Sampai aku mati!” Ayah memegang tanganku. “Ya, sampai kau mati. Sepanjang hidupmu. Tapi tidak apa-apa. Ini hal biasa. Kau akan menjumpai banyak orang yang memakai kacamata!” Ayah benar. Di jalan banyak orang memakai kacamata. Meskipun begitu aku tersungut- sungut. “ Aku tak mau memakai kacamata. Rasanya tak enak. Ayah mulai marah. “Jangan rewel,” katanya setengah membentak. “ Yang penting, kau bisa melihat lebih baik.” Aku kesal, berjalan menundukkan kepala mendahului Ayah.
Aku berjalan sambil menendang-nendang batu-batu kecil yang berserakan di tepi jalan. Di antara batu-batu itu, Aku melihat sepotong besi menyembul dari tanah. Bahaya, pikirku. Kalau aku tak melihatnya aku bisa sersandung atau tersusuk besi itu karena besi itu lancip. “Bruuk!” Aku menengok  ke belakang. Astaga, ayah terkurap di tanah! “Aduh!” teriaknya sambil berdiri, mengusap-usap lututnya. “Ayah tak melihat besi itu?” Tanyaku. “Tidak,” sahut Ayah meringis, “kalau melihat, Ayah tak akan tersandung!”
Kini Ayah tak dapat berjalan cepat. Aku heran, masa’ Ayah tak melihat besi itu? Selangkah demi selangkah mereka makin dekat dengan rumah. Hei, ada apa itu di dalam got yang kering? Berkilauan terkena sinar matahari. Aku membungkuk dan memungut benda itu. Waah, uang logam seratus rupiah! Ayah berhenti melangkah. Sekali lagi ia mengusap lututnya yang sakit. “Apa itu?” tanya Ayah. Aku mengacungkan uang logam seratus rupiah itu. “Aku menemukannya,” katanya bangga. Ayah tersenyum dan membelai-belai kepalaku. “ Nah, setelah memakai kacamata, penglihatanmu jadi tajam, kan?” kata Ayah. Sejak kejadian itu, aku jadi tambah percaya diri memakai kacamata itu.
Pada keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah memakai kacamata itu. Setelah sampai di sekolah Aku di tertawai oleh teman sekelasku. Tetapi Aku tetap percaya diri saja di depan teman-temanku. Waktu itu aku duduk di bangku terbelakang dan berada di tengah. Waktu itu pelajaran Fisika. Pelajaran fisika sering sekali menggunanakan LCD dan Aku bisa melihatnya dengan jelas. Aku senang sekali bisa melihat dengan jelas sekarang dan aku akan memakai kacamata terus-menerus. Pada waktu itu pelajaran fisika membahas tentang penyakit-penyakit pada mata. Ternyata penyakit yang menyerang mataku adalah penyakit rabun jauh atau sering disebut Myopia. Dan penyakit tersebut sering menyerang anak-anak remaja. Aku baru tahu, ternyata memakai kacamata itu tidak seburuk yang kubayangkan. Aku senang sekali memakai kacamata ini dan aku merawatnya dengan baik.
Pada keesokan harinya, kacamataku jatuh dan lensanya lecet. Aku sangat sedih dan aku membawa kacamataku ke took optic dimana aku membelinya. Kata penjual optic, kacamataku tidak apa-apa tetapi ada goresan sedikit dan untuk menjaganya agar tidak jatuh taruhlah kacamata itu pada tempatnya dan jangan lupa siramlah lensa dengan air hangat tiga kali seminggu. Baik pak, sahutku. Setelah sampai di rumah, aku langsung menyiram lensa kacamataku dengan air hangat. Ternyata setelah disiram air, kacamataku terlihat lebih jelas untuk melihat.
Tidak lama kemudian, temanku yang bernama Rifky pergi ke toko optik dimana aku membeli kacamata bersama dengan Ibunya. Karena toko optic berada di seberang rumahku. Jadi aku menghampirinya. “Hai Ky”, sapaku. “Eh kamu bal” sahut Alam. “Kamu kenapa ky, kok pergi ke toko optik” jawabku. “ Tidak apa-apa, aku cuma mau membeli kacamata karena aku melihat dengan jarak yang jauh cukup sulit” jawabnya.
Keesokan harinya, aku bertemu Rifky di sekolahan. “Ky, kamu min berapa?” tanyaku. “Aku cuma  min setengah di mata kiriku dan min seperampat di mata kananku” jawabnya. “Kalau kamu min berapa, bal?” tanya Rifky kepadaku. “ Aku min satu semua” jawabku. Bel berbunyi, berarti tanda akan di mulainya pelajaran.
“Sekarang ulangan biologi anak-anak!” kata Bu Win. “Materinya Gerak Pada Tumbuhan dan Hama dan Penyakit Pada Tumbuhan”. Ulangan berlangsung dari jam setengah sepuluh sampai jam sebelas. Setelah pulang sekolah, aku mencuci kacamataku yang kedua kalinya. “Kenapa Kacamatanya di cuci terus?” tnya Ibu. “ Kata penjual optiknya, kacamatanya harus di cuci tiga kali seminggu” jawabku.  
          Setelah satu bulan memakai kacamata, aku sudah tidak terasa pusing untuk berjalan bila memakai kacamata itu. Aku akan memakai kacamata itu setiap hari di sekolah maupun di rumah.

0 komentar:

Posting Komentar