Ketika Aku Harus Memakai Kacamata
Ketika
pelajaran bahasa Inggris, aku diminta membaca bacaan yang berada di layar LCD.
Ketika aku kesulitan membaca bacaan tersebut, saya diminta memakai kacamata
karena aku sulit melihat tulisan dengan jarak yang cukup jauh.
Hari Ini, aku
akan mengambil kacamata di toko optik. Aku tak tahu apakah aku akan menyukai
kacamata ini. Aku pun tak tahu apakah tampangku akan bego bila memakainya. Bersama
Ayah, aku pergi ke toko kacamata. Aha, kacamata untukku sudah jadi. Beberapa hari
yang lalu, aku bersama Ibu telah memilih dan memesan kacamata itu. Bingkainya
silver, seperti warna kesenanganku. Ahli kacamata di took itu memasang kaca yang
cocok untuk mataku di bingkai itu. Setelah memakai kacamata, aku bisa melihat
segala sesuatu dengan jelas tetapi saat pertama kali aku melihat lantai,
kepalaku langsung terasa pusing.
Ayah
memandangku, “Wah, kau jelihatan gagah! Seperti professor!” Aku diam saja.
Rasanya aneh. Seperti ada burung bertengger di hidungku dan setiapkali aku
memakainya terasa risih dan tak enak. “Boleh kulepas?” tanyanya pada Ayah.
“Tidak! Tidak boleh!” sahut Ayah. “Mulai sekarang kau harus terus memakai
kacamata ini!” “Sampai aku mati!” Ayah memegang tanganku. “Ya, sampai kau mati.
Sepanjang hidupmu. Tapi tidak apa-apa. Ini hal biasa. Kau akan menjumpai banyak
orang yang memakai kacamata!” Ayah benar. Di jalan banyak orang memakai
kacamata. Meskipun begitu aku tersungut- sungut. “ Aku tak mau memakai
kacamata. Rasanya tak enak. Ayah mulai marah. “Jangan rewel,” katanya setengah
membentak. “ Yang penting, kau bisa melihat lebih baik.” Aku kesal, berjalan
menundukkan kepala mendahului Ayah.
Aku berjalan
sambil menendang-nendang batu-batu kecil yang berserakan di tepi jalan. Di
antara batu-batu itu, Aku melihat sepotong besi menyembul dari tanah. Bahaya,
pikirku. Kalau aku tak melihatnya aku bisa sersandung atau tersusuk besi itu
karena besi itu lancip. “Bruuk!” Aku menengok ke belakang. Astaga, ayah terkurap di tanah!
“Aduh!” teriaknya sambil berdiri, mengusap-usap lututnya. “Ayah tak melihat besi
itu?” Tanyaku. “Tidak,” sahut Ayah meringis, “kalau melihat, Ayah tak akan
tersandung!”
Kini Ayah tak
dapat berjalan cepat. Aku heran, masa’ Ayah tak melihat besi itu? Selangkah
demi selangkah mereka makin dekat dengan rumah. Hei, ada apa itu di dalam got
yang kering? Berkilauan terkena sinar matahari. Aku membungkuk dan memungut
benda itu. Waah, uang logam seratus rupiah! Ayah berhenti melangkah. Sekali
lagi ia mengusap lututnya yang sakit. “Apa itu?” tanya Ayah. Aku mengacungkan uang
logam seratus rupiah itu. “Aku menemukannya,” katanya bangga. Ayah tersenyum
dan membelai-belai kepalaku. “ Nah, setelah memakai kacamata, penglihatanmu
jadi tajam, kan?” kata Ayah. Sejak kejadian itu, aku jadi tambah percaya diri
memakai kacamata itu.
Pada keesokan
harinya, aku berangkat ke sekolah memakai kacamata itu. Setelah sampai di
sekolah Aku di tertawai oleh teman sekelasku. Tetapi Aku tetap percaya diri
saja di depan teman-temanku. Waktu itu aku duduk di bangku terbelakang dan
berada di tengah. Waktu itu pelajaran Fisika. Pelajaran fisika sering sekali
menggunanakan LCD dan Aku bisa melihatnya dengan jelas. Aku senang sekali bisa
melihat dengan jelas sekarang dan aku akan memakai kacamata terus-menerus. Pada
waktu itu pelajaran fisika membahas tentang penyakit-penyakit pada mata.
Ternyata penyakit yang menyerang mataku adalah penyakit rabun jauh atau sering
disebut Myopia. Dan penyakit tersebut sering menyerang anak-anak remaja. Aku
baru tahu, ternyata memakai kacamata itu tidak seburuk yang kubayangkan. Aku
senang sekali memakai kacamata ini dan aku merawatnya dengan baik.
Pada keesokan
harinya, kacamataku jatuh dan lensanya lecet. Aku sangat sedih dan aku membawa
kacamataku ke took optic dimana aku membelinya. Kata penjual optic, kacamataku
tidak apa-apa tetapi ada goresan sedikit dan untuk menjaganya agar tidak jatuh
taruhlah kacamata itu pada tempatnya dan jangan lupa siramlah lensa dengan air
hangat tiga kali seminggu. Baik pak, sahutku. Setelah sampai di rumah, aku
langsung menyiram lensa kacamataku dengan air hangat. Ternyata setelah disiram
air, kacamataku terlihat lebih jelas untuk melihat.
Tidak lama kemudian,
temanku yang bernama Rifky pergi ke toko optik dimana aku membeli kacamata
bersama dengan Ibunya. Karena toko optic berada di seberang rumahku. Jadi aku
menghampirinya. “Hai Ky”, sapaku. “Eh kamu bal” sahut Alam. “Kamu kenapa ky,
kok pergi ke toko optik” jawabku. “ Tidak apa-apa, aku cuma mau membeli
kacamata karena aku melihat dengan jarak yang jauh cukup sulit” jawabnya.
Keesokan
harinya, aku bertemu Rifky di sekolahan. “Ky, kamu min berapa?” tanyaku. “Aku
cuma min setengah di mata kiriku dan min
seperampat di mata kananku” jawabnya. “Kalau kamu min berapa, bal?” tanya Rifky
kepadaku. “ Aku min satu semua” jawabku. Bel berbunyi, berarti tanda akan di
mulainya pelajaran.
“Sekarang
ulangan biologi anak-anak!” kata Bu Win. “Materinya Gerak Pada Tumbuhan dan
Hama dan Penyakit Pada Tumbuhan”. Ulangan berlangsung dari jam setengah sepuluh
sampai jam sebelas. Setelah pulang sekolah, aku mencuci kacamataku yang kedua
kalinya. “Kenapa Kacamatanya di cuci terus?” tnya Ibu. “ Kata penjual optiknya,
kacamatanya harus di cuci tiga kali seminggu” jawabku.
Setelah
satu bulan memakai kacamata, aku sudah tidak terasa pusing untuk berjalan bila
memakai kacamata itu. Aku akan memakai kacamata itu setiap hari di sekolah
maupun di rumah.
0 komentar:
Posting Komentar